ASIA TENGGARA "MELUPAKAN" TEROR PIHAK BARAT
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK (penulis buku "EXPOSING LIES OF THE EMPIRE")
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Kaum elit Asia Tenggara "lupa" tentang puluhan juta orang Asia yang dibunuh oleh imperialisme Barat pada akhir dan setelah Perang Dunia II. Mereka "lupa" tentang apa yang terjadi di kawasan Utara mereka - tentang pemboman kota Tokyo dan Osaka, tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tentang eliminasi warga sipil Korea yang dilakukan secara barbarik oleh pasukan AS. Tapi mereka juga lupa adanya korban-korban di negara mereka sendiri - tentang ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang hancur berkeping-keping karena bahan kimia atau langsung dihabisi - pria, wanita dan anak-anak dari Vietnam, Kamboja, Laos, Indonesia, Filipina dan Timor Leste.
Semua kejahatan itu diampuni dan dilupakan.
Dan sekali lagi Empire/Kekaisaran dengan bangganya "berkeliaran" di Asia; bahkan membual tentang hal ini.
Tidak diragukan lagi bahwa Empire/Kekaisaran tidak punya rasa malu dan kepatutan. Mereka dengan bangganya berbicara tentang demokrasi dan kebebasan, sementara mereka bahkan tidak pernah repot mencuci tangan mereka dari darah puluhan juta orang korbannya.
Di seluruh Asia, "rakyat yang beruntung" banyak memilih untuk tidak tahu, tidak ingat, atau bahkan untuk menghapus semua bab mengerikan dari sejarah. Mereka yang bersikeras untuk mengingatnya seringkali dibungkam, diejek, atau dibuat menjadi tidak relevan.
Amnesia selektif seperti itu, "kebaikan" seperti itu akan segera menjadi senjata makan tuan. Tak lama lagi, hal ini akan menjadi bumerang. Sejarah selalu berulang. Demikian yang selalu terjadi, khususnya sejarah teror dan kolonialisme Barat. Tapi korbannya bukanlah para elit yang korup secara moral, juga bukan antek-antek imperialisme Barat. Seperti biasanya, korban mereka adalah rakyat Asia yang miskin.
*
Setelah saya turun dari gua paling besar di sekitar Tham Pha Thok, Laos, saya coba untuk mengirim pesan singkat ke seorang teman baik saya, orang Vietnam yang tinggal di Hanoi. Saya ingin membandingkan penderitaan rakyat Laos dan Vietnam.
Gua ini dulunya merupakan "rumah" bagi Pathet Lao. Selama Perang Indochina Kedua, gua ini benar-benar menjadi markas mereka. Namun sekarang kelihatannya benar-benar angker, dari luar terlihat bentuknya seperti tengkorak yang tertutup lumut dan tumbuhan tropis.
Angkatan udara Amerika Serikat dulu secara intensif mengebom seluruh wilayah ini; masih ada lobang-lobang bekas bom yang sekarang sudah tertutup pepohonan dan semak-semak.
AS membom seluruh negeri Laos, yang sekarang dikenal sebagai: "Negara yang paling banyak dibom di bumi ini".
Bahkan dalam keadaan sadar sekali pun, sulit untuk membayangkan apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat, Australia dan sekutu mereka Thailand terhadap area pedesaan Laos yang berpenduduk jarang dan ramah tamah.
John Bacher, seorang sejarawan dan juru arsip Metro Toronto pernah menulis tentang "The Secret War" (“Perang Rahasia”), sebagai berikut: "Lebih banyak bom yang dijatuhkan di Laos antara tahun 1965 - 1973 daripada yang dijatuhkan AS di Jepang dan Jerman selama Perang Dunia II. Lebih dari 350.000 orang tewas. Perang di Laos merupakan rahasia, namun hanya untuk rakyat dan Kongres Amerika. Diduga ada hubungan tidak bermoral antara perdagangan narkoba dan rezim represif yang nantinya bisa dilihat dalam masalah Noriega."
Dalam operasi rahasia terbesar dalam sejarah AS ini, tujuan utamanya adalah untuk "mencegah pasukan pro-Vietnam untuk mendapatkan kendali" atas wilayah tersebut. Seluruh operasi rahasia tersebut tampak seperti sebuah permainan yang boleh dimainkan oleh anak-anak lelaki yang terlalu cepat dewasa dan sadis: Melakukan pemboman ke seluruh bangsa dan Negara serta melempatkan mereka kembali ke Zaman Batu selama lebih dari satu dekade. Namun demikian, pada dasarnya "permainan" ini tidak lain adalah salah satu genosida paling brutal dalam sejarah abad ke-20.
Tentu saja, di Barat ataupun di Asia Tenggara, hampir tidak ada yang tahu menahu tentang hal ini.
Pesan singkat yang saya kirimkan kepada teman saya: "Apa yang telah saya saksikan beberapa tahun yang lalu ketika saya meliput Plain of Jars tentu saja jauh lebih mengerikan daripada yang saya lihat di sekitar Tham Pha Thok, tapi tetap saja saya merasa ngeri melihat akibat dari apa yang telah dilakukan oleh AS." Selain pesan singkat tersebut, saya juga mengirim link ke esai saya tentang Plain of Jars.
Beberapa menit kemudian, dia menjawab: "Kalau kamu tidak memberitahu saya, maka saya akan pernah tahu tentang perang rahasia ini. Sejauh yang kami tahu, tidak pernah ada perang di Laos. Kasihan ya rakyat Laos!"
Saya kemudian bertanya kepada beberapa teman lain di Vietnam, juga di Indonesia. Tidak ada yang tahu tentang pemboman di Laos.
"Perang Rahasia" ini tetap menjadi rahasia, bahkan sekarang, bahkan di sini, di jantung kawasan Asia Pasifik, atau mungkin lebih tepat dikatakan terutama di sini.
Ketika saya dan Noam Chomsky mendiskusikan keadaan dunia di dalam apa yang kemudian menjadi buku kami "Tentang Terorisme Barat - Dari Hiroshima ke Perang Drone", Noam menyinggung tentang kunjungannya ke Laos yang hancur karena perang. Dengan jelas sekali dia ingat akan para pilot Air Amerika dan gerombolan wartawan Barat yang bermarkas di Vientiane tapi terlalu sibuk untuk tidak melihat dan tidak mengajukan pertanyaan yang relevan.
*
"Di Filipina, sebagian besar orang sekarang yakin bahwa AS benar-benar 'membebaskan' negara kami dari Jepang", kata seorang teman wartawan saya dari sayap kiri.
Tahun lalu, Dr Teresa S. Encarnación Tadem, seorang Profesor Ilmu Politik dari Universitas Filipina Diliman, menjelaskan kepada saya ketika kami bertemu di Manila: "Ada suatu pepatah di sini: "Orang Filipina mencintai Amerika lebih dari orang Amerika mencintai negara mereka sendiri."
Saya bertanya: "Bagaimana mungkin? Filipina dijajah dan diduduki oleh Amerika Serikat. Telah terjadi beberapa pembantaian yang mengerikan di sini... Negara ini tidak pernah benar-benar bebas. Mengapa sekarang ini menonjol sekali 'kecintaan' terhadap Amerika Serikat?"
"Hal ini terjadi karena adanya mesin propaganda Amerika Utara yang sangat intensif,” kata suami Teresa, Dr. Eduardo Climaco Tadem, seorang Profesor di Studi Asia dari Universitas Filipina Diliman. "Propaganda tersebut menggambarkan masa penjajahan AS sebagai semacam kolonialisme yang baik, kontras dengan penjajahan Spanyol sebelumnya, yang digambarkan sebagai 'lebih brutal'. Kekejaman selama Perang Amerika-Filipina (1898 - 1902) tidak pernah jadi bahasan. Padahal kekejaman selama itu mengakibatkan 1 juta orang Filipina tewas. Pada periode itu, jumlah tersebut mencapai hampir 10% dari populasi negara kami... genosida, penyiksaan... Filipina dikenal sebagai "Vietnam yang pertama"... semua hal ini dengan mudahnya dilupakan oleh media dan tidak ada dalam buku-buku sejarah. Tentu saja kemudian Hollywood dan budaya pop American menyebarkan gambaran-gambaran sebagai berikut: militer AS yang heroik dan baik hati menyelamatkan negara yang sedang babak belur dan membantu rakyat miskin di sana..."
Pada dasarnya, seratus delapan puluh persen berbeda dari kenyataan yang ada.
"Sistem pendidikan adalah hal yang sangat penting", tambah Teresa Tadem. "Sistem pendidikan menghasilkan konsensus, dan pada gilirannya hal itu menciptakan dukungan bagi Amerika Serikat... bahkan universitas kami - Universitas Filipina - didirikan oleh Amerika. Anda bisa melihatnya di dalam kurikulum - misalnya kuliah ilmu politik... semua punya akar di dalam Perang Dingin dan mentalitas dari masa itu.”
Hampir semua keturunan kaum "elit" di Asia mendapatkan "pendidikan" di Barat, atau setidaknya dari apa yang disebut "sekolah internasional" di negara asal mereka, yang mengimplementasikan kurikulum imperialis. Atau bisa juga mereka “dididik” di sekolah-sekolah privat, kemungkinan besar sekolah agama/Kristen... "Pendidikan" seperti ini menggunakan konsep-konsep indoktrinasi pro-Barat dan pro-bisnis.
Dan ketika mereka sudah dikondisikan, anak-anak dari kaum "elit" tersebut segera bekerja untuk mencuci otak orang-orang di luar kaum mereka. Hasilnya mudah ditebak: kapitalisme, imperialisme Barat, dan bahkan kolonialisme menjadi tak tersentuh, dihormati dan dikagumi. Bangsa-bangsa dan individu-individu yang sudah membunuh jutaan orang diberi label sebagai pembawa kemajuan, demokrasi dan kebebasan. Dianggap "bergengsi" kalau bisa berbaur dengan orang-orang seperti itu, karena yang sangat diinginkan adalah "mengikuti teladan mereka". Sejarah sudah mati. Sejarah digantikan oleh dongeng-dongeng Hollywood yang primitif dan bergaya Disney.
*
Di Hanoi, sebuah foto ikonik dari seorang wanita yang menarik sayap pesawat militer AS yang jatuh terukir menjadi sebuah monumen yang kuat. Foto ini adalah sebuah karya seni yang kuat.
Teman saya George Burchett, seorang seniman Australia ternama yang lahir di Hanoi dan yang sekarang tinggal di kota ini lagi, menemani saya saat itu.
Ayah George, Wilfred Burchett, dapat dikatakan sebagai wartawan berbahasa Inggris terbesar di abad ke-20. Asia adalah rumah Wilfred. Dan di Asia lah Wilfred menciptakan karya-karyanya yang monumental, meliput kebrutalan-kebrutalan yang paling memalukan yang dilakukan oleh Barat: kesaksian Wilfred mencakup berita dari tangan pertama tentang pemboman-A di Hiroshima sampai ke pembunuhan massal warga sipil yang tak terhitung jumlahnya selama "Perang Korea". Wilfred Burchett juga meliput Vietnam, Laos, Kamboja, beberapa tempat yang benar-benar dihancurkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Sekarang ini buku-bukunya telah diterbitkan dan dicetak kembali oleh penerbit bergengsi di seluruh dunia, tetapi anehnya tidak masuk di bawah sadar pemuda-pemuda di Asia.
Orang Vietnam, terutama yang masih muda, hanya tahu sedikit sekali tentang tindakan-tindakan mengerikan yang dilakukan oleh Barat di negara-negara tetangga mereka. Paling-paling mereka hanya tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh Perancis dan AS di negara mereka sendiri - di Vietnam, dan tidak tahu atau hampir tidak tahu tentang korban-korban diktator yang disponsori oleh Barat seperti Marcos dan Soeharto. Tidak tahu apa-apa tentang Kamboja – tidak tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab untuk hilangnya 2 juta nyawa.
"Perang Rahasia" tetap menjadi rahasia.
Selama berkeliling di Museum Seni Murni di Vietnam dengan George Burchett, saya mengagumi karya-karya seni revolusioner dan sosialis yang kuat. Tidak terhitung kekejaman yang mengerikan yang dilakukan oleh Barat, yang digambarkan secara detail di sini, juga tekad perjuangan perlawanan melawan kolonialisme AS dari pahlawan-pahlawan Vietnam.
Namun di dalam museum ini agak membuat merinding karena museum ini hampir kosong! Selain kami hanya ada beberapa pengunjung lain dan semua wisatawan asing: ruangan besar dengan karya-karya seni yang menakjubkan ini hampir tidak ada pengunjungnya.
*
"Orang Indonesia tidak tahu, karena mereka dibuat jadi bodoh!" teriak Djokopekik, teman baik saya, di sanggar seninya di Yogyakarta. Boleh dibilang, Djokopekik adalah seniman sosialis realis terbesar di Asia Tenggara. Di atas kanvasnya, dia menggambarkan tentara-tentara brutal yang menendang pantat orang-orang miskin, sementara seekor buaya besar (sebagai simbol korupsi) menyerang, menggigit, dan memakan semua orang yang dilihatnya. Djokopekik adalah orang yang amat terbuka dan jujur: "Semua ini adalah rencana mereka; rezim memang punya tujuan besar untuk mencuci otak rakyatnya. Rakyat Indonesia tidak tahu apa-apa tentang sejarah mereka sendiri atau tentang negara-negara lain di Asia Tenggara! "
Sebelum meninggal, Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang paling berpengaruh di Asia Tenggara, mengatakan kepada saya: "Mereka tidak bisa berpikir lagi... dan mereka tidak bisa menulis. Saya tidak bisa membaca lebih dari 5 halaman karya penulis kontemporer Indonesia... kualitasnya memalukan..." Dalam buku yang kami (Pramoedya Ananta Toer, Rossie Indira dan saya) tulis bersama -"Exile" -, beliau menyesalkan bahwa orang Indonesia tidak tahu apapun tentang sejarah, atau tentang dunia.
Kalau saja mereka tahu, pasti mereka akan melawan dan menggulingkan rezim yang memalukan ini, yang telah mengendalikan kepulauan mereka sampai sekarang.
Dua sampai tiga juta orang Indonesia meninggal setelah kudeta militer di tahun 1965 yang dipicu dan didukung oleh Barat dan para ulama, terutama oleh kaum Protestan yang dikirim dari Eropa. Sebagian besar rakyat di negara kepulauan yang kondisinya menyedihkan ini sekarang sepenuhnya dikondisikan oleh propaganda Barat, yang bahkan tidak dapat mendeteksi penderitaan mereka sendiri. Mereka masih menyalahkan para korban (terutama kaum Komunis, para intelektual dan kaum "ateis") untuk peristiwa yang terjadi tepat 50 tahun lalu, peristiwa yang telah benar-benar menghancurkan bangsa yang dulu pernah membanggakan dan progresif ini.
Rakyat Indonesia hampir sepenuhnya percaya pada dongeng kaum fasis dan sayap kanan, dongeng yang dibuat oleh pihak Barat dan disebarluaskan melalui saluran media massa lokal yang dikendalikan oleh para “elit" yang sudah melacurkan diri mereka... Tidak mengherankan kalau selama 50 tahun mereka telah dikondisikan secara "intelektual" dan "budaya" oleh karya-karya Hollywood dengan kualitas terendah dan oleh musik pop Barat dan oleh Disney.
Mereka tidak tahu apapun tentang wilayah mereka sendiri.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kejahatan mereka sendiri. Mereka tidak sadar tentang genosida yang telah mereka lakukan. Lebih dari setengah politisi mereka sebenarnya adalah penjahat perang yang bertanggung jawab atas dibunuhnya lebih dari 30% pria, wanita dan anak-anak selama pendudukan Timor Timur (sekarang sebuah negara yang merdeka) yang didukung oleh AS/Inggris/Australia, juga bertanggungjawab untuk pertumpahan darah mengerikan yang terjadi di tahun 1965 dan untuk genosida yang masih berlangsung yang Indonesia lakukan di Papua.
Informasi tentang semua kejadian mengerikan ini sekarang sudah tersedia on line. Ada ribuan situs yang menyediakan bukti-bukti rinci dan memberatkan. Namun, dengan cara yang pengecut dan oportunis, penduduk Indonesia yang "berpendidikan" memilih untuk "tidak tahu".
Tentu saja, pihak Barat dan perusahaan-perusahaan mereka sangat diuntungkan dari penjarahan Papua.
Oleh karenanya, genosida sedang berlangsung, dan semua ditutupi dengan kerahasiaan.
Coba bertanya di Vietnam, di Burma, bahkan di Malaysia, apa yang mereka tahu tentang Timor Timur dan Papua? Jawabannya pasti tidak ada, atau hampir tidak ada.
Burma, Laos, Kamboja, Indonesia, dan Filipina - mereka bisa saja terletak di kawasan yang sama di dunia ini, tetapi boleh dibilang bahwa mereka berasal dari beberapa planet yang berbeda. Memang inilah rencana mereka: konsep kuno Inggris dalam divide-and-rule (pisahkan dan kendalikan).
Di Manila, ibukota Filipina, sebuah keluarga bersikeras mengatakan kepada saya bahwa Indonesia terletak di Eropa. Keluarga tersebut juga tidak tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh rezim Marcos yang pro-Barat.
*
Media Barat mempromosikan Thailand sebagai "negara yang penuh senyum", padahal negeri tersebut merupakan tempat yang brutal dan rakyatnya banyak yang frustasi dengan tingkat pembunuhan (secara per kapita) yang lebih tinggi daripada di Amerika Serikat.
Thailand telah sepenuhnya dikendalikan oleh Barat sejak akhir Perang Dunia II. Akibatnya, kepemimpinan di sana (kerajaan, para elit dan militer) telah memperbolehkan beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling mengerikan dilakukan di wilayahnya. Di sini saya akan sebutkan beberapa di antaranya: pembunuhan massal terhadap para pemberontak sayap kiri Thailand dan simpatisannya (beberapa bahkan dibakar hidup-hidup), pembunuhan ribuan pengungsi Kamboja, pembunuhan dan pemerkosaan para mahasiswa demonstran di Bangkok dan di beberapa tempat lain... Dan yang paling mengerikan: partisipasi Thailand yang tidak banyak diketahui massa dalam invasi ke Vietnam selama "Perang Amerika"... penggunaan para pilot Thailand secara intensif selama pemboman melawan Laos, Vietnam dan Kamboja, serta menyerahkan beberapa bandara militer (termasuk Pattaya) untuk digunakan oleh angkatan udara Barat. Belum lagi dengan menawarkan pemudi dan pemuda Thailand (banyak yang masih di bawah umur) kepada anggota militer Barat.
*
Teror yang telah disebarkan Barat di seluruh kawasan Asia Tenggara tampaknya telah dilupakan, atau setidaknya untuk saat ini.
"Mari kita lupakan dan melangkah ke depan!” demikian yang saya dengar di Hanoi dan di Luang Prabang.
Tetapi sementara rakyat Vietnam, Laos dan Kamboja sibuk "memaafkan" para penyiksa mereka, Empire/Kekaisaran melakukan pembunuhan rakyat Irak, Suriah, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, Ukraina, dan seluruh pelosok Afrika.
Sudah dinyatakan oleh banyak orang, beberapa sudah terbukti, terutama di Amerika Selatan yang sudah hampir berhasil membinasakan elemen-elemen yang jahat, bahwa tidak akan ada masa depan yang layak untuk Planet ini tanpa mengakui dan memahami masa lalu.
Setelah “mengampuni Barat”, beberapa negara di Asia Tenggara segera dipaksa masuk ke dalam konfrontasi dengan China dan Rusia.
Ketika "diampuni", pihak Barat tidak dengan rendah hati menerima kebaikan para korbannya. Perilaku seperti itu bukanlah bagian dari budayanya. Sebaliknya, mereka melihat kebaikan sebagai suatu kelemahan, dan kemudian dengan segera mengambil keuntungan dari hal tersebut.
Dengan mengampuni Barat, dengan "melupakan" kejahatan-kejahatannya, Asia Tenggara tidak melakukan hal yang positif. Mereka hanya mengkhianati sesama korbannya, di seluruh dunia.
Mereka juga, secara pragmatis dan egois, mengharapkan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi keuntungan tidak pernah datang! Sejarah telah membuktikannya dalam banyak kesempatan. Pihak Barat menginginkan segalanya. Dan mereka percaya bahwa mereka layak mendapatkan semuanya. Jika tidak ada perlawanan, maka mereka akan menjarah sampai akhir, sampai tidak ada yang tersisa - seperti yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, di Irak atau di Indonesia.
*
Geoffrey Gunn, seorang sejarawan Australia terkenal dan Profesor Emeritus di Universitas Nagasaki di Jepang, menulis untuk esai ini:
"Amerika Serikat menggunakan hard power(kekuatan bersenjata) dan soft power (kekuatan berdiplomasi) dalam porsi yang sama, atau begitulah yang terlihat. Selama empat dekade terakhir, saya keluar masuk Asia Timur, dan terus terang saya heran dan bingung dengan kenangan yang selektif tentang apa yang telah dilakukan oleh Amerika. Ambil contoh Laos dan Kamboja pada tahun 1970-an, di masing-masing negara ini, AS telah menjatuhkan bom dengan tonase yang jauh lebih besar dari yang dijatuhkan di kota-kota di Jepang selama Perang Dunia II, dan di kedua negara ini masih banyak bom yang belum meledak dan yang masih memakan korban. Belum lama ini saya bertanya kepada seorang pejabat tinggi rezim di Phnom Penh, apakah pemerintahan Obama telah mengeluarkan permintaan maaf atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. "Tidak mungkin," katanya, tapi dia pun tidak terlihat marah, sama seperti rakyatnya yang tampak sudah mati rasa walau melihat fakta-fakta dari sejarah mereka sendiri di luar yang mereka tahu secara umum dari kengerian-kengerian di masa lalu. Saya kebetulan berada di Laos bulan Desember 1975, ketika dengan penuh kemarahan kepada AS, kaum revolusioner mengambil alih kekuasaan; penayangan kejahatan Amerika - dulu merupakan propaganda utama - telah dibuang ke sudut-sudut museum. Sama juga yang terjadi di Vietnam yang perlahan-lahan masuk ke dalam pelukan AS sebagai mitra strategis, tanpa menuntut penyesalan Amerika khusus untuk para korban pemboman, senjata kimia dan kejahatan lainnya. Di Timor Timur, kawasan yang dikorbankan oleh Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dari Amerika Serikat untuk para jenderal Indonesia dalam rangka kepentingan perlawanan strategis mereka, dengan korban tewas yang mencapai sekitar 30 persen dari populasi, Amerika telah diampuni atau, setidaknya, dihapuskan dari narasi resmi. Ketika Presiden China Xi Jinping mengunjungi AS pada kunjungan kenegaraan pertamanya, dia menggalang kerjasama bisnis yang besar dengan Amerika, sesuatu yang menjadi "biasa" di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan sekarang menjadi mitra AS dalam "perang melawan teror", seperti di Afghanistan. Karena saya baru saja pulang dari mengajar sejarah di sebuah universitas di China, saya bisa menambahkan bahwa sejarah masih dipedulikan di China tetapi jelas sekali bahwa hanya Jepang yang digunakan sebagai poin referensi.”
*
"Dulu China melihat perlawanan terhadap imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme Barat sebagai topik utama dalam kebijakan luar negerinya,” desah Geoff, ketika kami sedang menikmati pemandangan teluk di kota tempat tinggalnya - Nagasaki. "Sekarang hanya kejahatan-kejahatan Jepang saja yang diingat di Beijing."
Mari kita kembali ke Asia Tenggara...
Semua sudah dilupakan dan dimaafkan, dan alas an "mengapa"nya jelas dan sederhana. Kita dapat diuntungkan bila kita melupakan! "Pengampunan" mendatangkan dana bantuan; "beasiswa" juga akan banyak ditawarkan sebagai salah satu cara negara-negara Barat menyebarkan korupsi di negara-negara klien dan di negara-negara yang ingin mereka tarik ke orbit mereka.
Kaum elit dengan rumah-rumah mewahnya, perjalanan-perjalanan ke luar negeri, anak-anak yang bersekolah di sekolah asing, adalah kelompok yang sangat pemaaf!
Namun kalau Anda pergi ke pedesaan, tempat sebagian besar rakyat Asia Tenggara tinggal, maka kita akan mendapatkan cerita yang sangat berbeda. Cerita yang akan membuat Anda merinding.
Sebelum berangkat pulang dari Laos, saya duduk di sebuah meja bundar di pinggir jalan desa Nam Bak, sekitar 100 kilometer dari Luang Prabang. Ibu Nang Oen bercerita tentang serangan bom Amerika Serikat, dan Pak Un Kham menunjukkan bekas luka-lukanya kepada saya:
"Bahkan di sini, di Nam Bak, kami punya banyak lobang bekas pemboman, tetapi sekarang lobang-lobang itu sudah tertutup menjadi persawahan dan perumahan. Di tahun 1968, rumah orangtua saya dibom... Saya rasa mereka menjatuhkan 500-pound (sekitar 225kg) bom di sana. Hidup amat sulit selama perang. Kami harus tidur di ladang atau di gua-gua. Kami harus bergerak terus sepanjang hari. Banyak yang kelaparan, karena kami tidak bisa bertani.”
Saya bertanya tentang Amerika kepada Ibu Nang Oen. Apakah dia sudah melupakan memaafkan mereka?
"Bagaimana perasaan saya tentang mereka? Saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Setelah bertahun-tahun, saya masih tidak bisa mengatakan apapun. Mereka membunuh segalanya di sini, termasuk ayam. Saya tahu bahwa sekarang pun mereka masih melakukan hal yang sama, di seluruh dunia..."
Lalu dia berhenti berbicara dan menatap ke batas cakrawala.
"Kadang-kadang saya ingat apa yang sudah mereka lakukan kepada kami... Kadang-kadang saya lupa,” katanya sambil mengangkat bahu. "Tapi ketika saya lupa, itu hanyalah untuk sementara waktu. Kami tidak pernah menerima kompensasi apapun, bahkan tidak pernah ada permintaan maaf. Saya tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu. Kadang-kadang saya bangun di tengah malam dan menangis."
Saya mendengarkan dia berbicara dan saya tahu, bahwa setelah selama puluhan tahun meliput di berbagai belahan dunia: bagi masyarakat Laos, Vietnam, Kamboja, dan Timor Leste, tidak ada yang dilupakan dan tidak ada yang diampuni. Dan memang seharusnya begitu!
*
Sumber: Southeast Asia “Forgets” About Western Terror (CounterPunch)
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Kaum elit Asia Tenggara "lupa" tentang puluhan juta orang Asia yang dibunuh oleh imperialisme Barat pada akhir dan setelah Perang Dunia II. Mereka "lupa" tentang apa yang terjadi di kawasan Utara mereka - tentang pemboman kota Tokyo dan Osaka, tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tentang eliminasi warga sipil Korea yang dilakukan secara barbarik oleh pasukan AS. Tapi mereka juga lupa adanya korban-korban di negara mereka sendiri - tentang ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang hancur berkeping-keping karena bahan kimia atau langsung dihabisi - pria, wanita dan anak-anak dari Vietnam, Kamboja, Laos, Indonesia, Filipina dan Timor Leste.
Semua kejahatan itu diampuni dan dilupakan.
Dan sekali lagi Empire/Kekaisaran dengan bangganya "berkeliaran" di Asia; bahkan membual tentang hal ini.
Tidak diragukan lagi bahwa Empire/Kekaisaran tidak punya rasa malu dan kepatutan. Mereka dengan bangganya berbicara tentang demokrasi dan kebebasan, sementara mereka bahkan tidak pernah repot mencuci tangan mereka dari darah puluhan juta orang korbannya.
Di seluruh Asia, "rakyat yang beruntung" banyak memilih untuk tidak tahu, tidak ingat, atau bahkan untuk menghapus semua bab mengerikan dari sejarah. Mereka yang bersikeras untuk mengingatnya seringkali dibungkam, diejek, atau dibuat menjadi tidak relevan.
Amnesia selektif seperti itu, "kebaikan" seperti itu akan segera menjadi senjata makan tuan. Tak lama lagi, hal ini akan menjadi bumerang. Sejarah selalu berulang. Demikian yang selalu terjadi, khususnya sejarah teror dan kolonialisme Barat. Tapi korbannya bukanlah para elit yang korup secara moral, juga bukan antek-antek imperialisme Barat. Seperti biasanya, korban mereka adalah rakyat Asia yang miskin.
*
Setelah saya turun dari gua paling besar di sekitar Tham Pha Thok, Laos, saya coba untuk mengirim pesan singkat ke seorang teman baik saya, orang Vietnam yang tinggal di Hanoi. Saya ingin membandingkan penderitaan rakyat Laos dan Vietnam.
Gua ini dulunya merupakan "rumah" bagi Pathet Lao. Selama Perang Indochina Kedua, gua ini benar-benar menjadi markas mereka. Namun sekarang kelihatannya benar-benar angker, dari luar terlihat bentuknya seperti tengkorak yang tertutup lumut dan tumbuhan tropis.
Angkatan udara Amerika Serikat dulu secara intensif mengebom seluruh wilayah ini; masih ada lobang-lobang bekas bom yang sekarang sudah tertutup pepohonan dan semak-semak.
AS membom seluruh negeri Laos, yang sekarang dikenal sebagai: "Negara yang paling banyak dibom di bumi ini".
Bahkan dalam keadaan sadar sekali pun, sulit untuk membayangkan apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat, Australia dan sekutu mereka Thailand terhadap area pedesaan Laos yang berpenduduk jarang dan ramah tamah.
John Bacher, seorang sejarawan dan juru arsip Metro Toronto pernah menulis tentang "The Secret War" (“Perang Rahasia”), sebagai berikut: "Lebih banyak bom yang dijatuhkan di Laos antara tahun 1965 - 1973 daripada yang dijatuhkan AS di Jepang dan Jerman selama Perang Dunia II. Lebih dari 350.000 orang tewas. Perang di Laos merupakan rahasia, namun hanya untuk rakyat dan Kongres Amerika. Diduga ada hubungan tidak bermoral antara perdagangan narkoba dan rezim represif yang nantinya bisa dilihat dalam masalah Noriega."
Dalam operasi rahasia terbesar dalam sejarah AS ini, tujuan utamanya adalah untuk "mencegah pasukan pro-Vietnam untuk mendapatkan kendali" atas wilayah tersebut. Seluruh operasi rahasia tersebut tampak seperti sebuah permainan yang boleh dimainkan oleh anak-anak lelaki yang terlalu cepat dewasa dan sadis: Melakukan pemboman ke seluruh bangsa dan Negara serta melempatkan mereka kembali ke Zaman Batu selama lebih dari satu dekade. Namun demikian, pada dasarnya "permainan" ini tidak lain adalah salah satu genosida paling brutal dalam sejarah abad ke-20.
Tentu saja, di Barat ataupun di Asia Tenggara, hampir tidak ada yang tahu menahu tentang hal ini.
Pesan singkat yang saya kirimkan kepada teman saya: "Apa yang telah saya saksikan beberapa tahun yang lalu ketika saya meliput Plain of Jars tentu saja jauh lebih mengerikan daripada yang saya lihat di sekitar Tham Pha Thok, tapi tetap saja saya merasa ngeri melihat akibat dari apa yang telah dilakukan oleh AS." Selain pesan singkat tersebut, saya juga mengirim link ke esai saya tentang Plain of Jars.
Beberapa menit kemudian, dia menjawab: "Kalau kamu tidak memberitahu saya, maka saya akan pernah tahu tentang perang rahasia ini. Sejauh yang kami tahu, tidak pernah ada perang di Laos. Kasihan ya rakyat Laos!"
Saya kemudian bertanya kepada beberapa teman lain di Vietnam, juga di Indonesia. Tidak ada yang tahu tentang pemboman di Laos.
"Perang Rahasia" ini tetap menjadi rahasia, bahkan sekarang, bahkan di sini, di jantung kawasan Asia Pasifik, atau mungkin lebih tepat dikatakan terutama di sini.
Ketika saya dan Noam Chomsky mendiskusikan keadaan dunia di dalam apa yang kemudian menjadi buku kami "Tentang Terorisme Barat - Dari Hiroshima ke Perang Drone", Noam menyinggung tentang kunjungannya ke Laos yang hancur karena perang. Dengan jelas sekali dia ingat akan para pilot Air Amerika dan gerombolan wartawan Barat yang bermarkas di Vientiane tapi terlalu sibuk untuk tidak melihat dan tidak mengajukan pertanyaan yang relevan.
*
"Di Filipina, sebagian besar orang sekarang yakin bahwa AS benar-benar 'membebaskan' negara kami dari Jepang", kata seorang teman wartawan saya dari sayap kiri.
Tahun lalu, Dr Teresa S. Encarnación Tadem, seorang Profesor Ilmu Politik dari Universitas Filipina Diliman, menjelaskan kepada saya ketika kami bertemu di Manila: "Ada suatu pepatah di sini: "Orang Filipina mencintai Amerika lebih dari orang Amerika mencintai negara mereka sendiri."
Saya bertanya: "Bagaimana mungkin? Filipina dijajah dan diduduki oleh Amerika Serikat. Telah terjadi beberapa pembantaian yang mengerikan di sini... Negara ini tidak pernah benar-benar bebas. Mengapa sekarang ini menonjol sekali 'kecintaan' terhadap Amerika Serikat?"
"Hal ini terjadi karena adanya mesin propaganda Amerika Utara yang sangat intensif,” kata suami Teresa, Dr. Eduardo Climaco Tadem, seorang Profesor di Studi Asia dari Universitas Filipina Diliman. "Propaganda tersebut menggambarkan masa penjajahan AS sebagai semacam kolonialisme yang baik, kontras dengan penjajahan Spanyol sebelumnya, yang digambarkan sebagai 'lebih brutal'. Kekejaman selama Perang Amerika-Filipina (1898 - 1902) tidak pernah jadi bahasan. Padahal kekejaman selama itu mengakibatkan 1 juta orang Filipina tewas. Pada periode itu, jumlah tersebut mencapai hampir 10% dari populasi negara kami... genosida, penyiksaan... Filipina dikenal sebagai "Vietnam yang pertama"... semua hal ini dengan mudahnya dilupakan oleh media dan tidak ada dalam buku-buku sejarah. Tentu saja kemudian Hollywood dan budaya pop American menyebarkan gambaran-gambaran sebagai berikut: militer AS yang heroik dan baik hati menyelamatkan negara yang sedang babak belur dan membantu rakyat miskin di sana..."
Pada dasarnya, seratus delapan puluh persen berbeda dari kenyataan yang ada.
"Sistem pendidikan adalah hal yang sangat penting", tambah Teresa Tadem. "Sistem pendidikan menghasilkan konsensus, dan pada gilirannya hal itu menciptakan dukungan bagi Amerika Serikat... bahkan universitas kami - Universitas Filipina - didirikan oleh Amerika. Anda bisa melihatnya di dalam kurikulum - misalnya kuliah ilmu politik... semua punya akar di dalam Perang Dingin dan mentalitas dari masa itu.”
Hampir semua keturunan kaum "elit" di Asia mendapatkan "pendidikan" di Barat, atau setidaknya dari apa yang disebut "sekolah internasional" di negara asal mereka, yang mengimplementasikan kurikulum imperialis. Atau bisa juga mereka “dididik” di sekolah-sekolah privat, kemungkinan besar sekolah agama/Kristen... "Pendidikan" seperti ini menggunakan konsep-konsep indoktrinasi pro-Barat dan pro-bisnis.
Dan ketika mereka sudah dikondisikan, anak-anak dari kaum "elit" tersebut segera bekerja untuk mencuci otak orang-orang di luar kaum mereka. Hasilnya mudah ditebak: kapitalisme, imperialisme Barat, dan bahkan kolonialisme menjadi tak tersentuh, dihormati dan dikagumi. Bangsa-bangsa dan individu-individu yang sudah membunuh jutaan orang diberi label sebagai pembawa kemajuan, demokrasi dan kebebasan. Dianggap "bergengsi" kalau bisa berbaur dengan orang-orang seperti itu, karena yang sangat diinginkan adalah "mengikuti teladan mereka". Sejarah sudah mati. Sejarah digantikan oleh dongeng-dongeng Hollywood yang primitif dan bergaya Disney.
*
Di Hanoi, sebuah foto ikonik dari seorang wanita yang menarik sayap pesawat militer AS yang jatuh terukir menjadi sebuah monumen yang kuat. Foto ini adalah sebuah karya seni yang kuat.
Teman saya George Burchett, seorang seniman Australia ternama yang lahir di Hanoi dan yang sekarang tinggal di kota ini lagi, menemani saya saat itu.
Ayah George, Wilfred Burchett, dapat dikatakan sebagai wartawan berbahasa Inggris terbesar di abad ke-20. Asia adalah rumah Wilfred. Dan di Asia lah Wilfred menciptakan karya-karyanya yang monumental, meliput kebrutalan-kebrutalan yang paling memalukan yang dilakukan oleh Barat: kesaksian Wilfred mencakup berita dari tangan pertama tentang pemboman-A di Hiroshima sampai ke pembunuhan massal warga sipil yang tak terhitung jumlahnya selama "Perang Korea". Wilfred Burchett juga meliput Vietnam, Laos, Kamboja, beberapa tempat yang benar-benar dihancurkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Sekarang ini buku-bukunya telah diterbitkan dan dicetak kembali oleh penerbit bergengsi di seluruh dunia, tetapi anehnya tidak masuk di bawah sadar pemuda-pemuda di Asia.
Orang Vietnam, terutama yang masih muda, hanya tahu sedikit sekali tentang tindakan-tindakan mengerikan yang dilakukan oleh Barat di negara-negara tetangga mereka. Paling-paling mereka hanya tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh Perancis dan AS di negara mereka sendiri - di Vietnam, dan tidak tahu atau hampir tidak tahu tentang korban-korban diktator yang disponsori oleh Barat seperti Marcos dan Soeharto. Tidak tahu apa-apa tentang Kamboja – tidak tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab untuk hilangnya 2 juta nyawa.
"Perang Rahasia" tetap menjadi rahasia.
Selama berkeliling di Museum Seni Murni di Vietnam dengan George Burchett, saya mengagumi karya-karya seni revolusioner dan sosialis yang kuat. Tidak terhitung kekejaman yang mengerikan yang dilakukan oleh Barat, yang digambarkan secara detail di sini, juga tekad perjuangan perlawanan melawan kolonialisme AS dari pahlawan-pahlawan Vietnam.
Namun di dalam museum ini agak membuat merinding karena museum ini hampir kosong! Selain kami hanya ada beberapa pengunjung lain dan semua wisatawan asing: ruangan besar dengan karya-karya seni yang menakjubkan ini hampir tidak ada pengunjungnya.
*
"Orang Indonesia tidak tahu, karena mereka dibuat jadi bodoh!" teriak Djokopekik, teman baik saya, di sanggar seninya di Yogyakarta. Boleh dibilang, Djokopekik adalah seniman sosialis realis terbesar di Asia Tenggara. Di atas kanvasnya, dia menggambarkan tentara-tentara brutal yang menendang pantat orang-orang miskin, sementara seekor buaya besar (sebagai simbol korupsi) menyerang, menggigit, dan memakan semua orang yang dilihatnya. Djokopekik adalah orang yang amat terbuka dan jujur: "Semua ini adalah rencana mereka; rezim memang punya tujuan besar untuk mencuci otak rakyatnya. Rakyat Indonesia tidak tahu apa-apa tentang sejarah mereka sendiri atau tentang negara-negara lain di Asia Tenggara! "
Sebelum meninggal, Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang paling berpengaruh di Asia Tenggara, mengatakan kepada saya: "Mereka tidak bisa berpikir lagi... dan mereka tidak bisa menulis. Saya tidak bisa membaca lebih dari 5 halaman karya penulis kontemporer Indonesia... kualitasnya memalukan..." Dalam buku yang kami (Pramoedya Ananta Toer, Rossie Indira dan saya) tulis bersama -"Exile" -, beliau menyesalkan bahwa orang Indonesia tidak tahu apapun tentang sejarah, atau tentang dunia.
Kalau saja mereka tahu, pasti mereka akan melawan dan menggulingkan rezim yang memalukan ini, yang telah mengendalikan kepulauan mereka sampai sekarang.
Dua sampai tiga juta orang Indonesia meninggal setelah kudeta militer di tahun 1965 yang dipicu dan didukung oleh Barat dan para ulama, terutama oleh kaum Protestan yang dikirim dari Eropa. Sebagian besar rakyat di negara kepulauan yang kondisinya menyedihkan ini sekarang sepenuhnya dikondisikan oleh propaganda Barat, yang bahkan tidak dapat mendeteksi penderitaan mereka sendiri. Mereka masih menyalahkan para korban (terutama kaum Komunis, para intelektual dan kaum "ateis") untuk peristiwa yang terjadi tepat 50 tahun lalu, peristiwa yang telah benar-benar menghancurkan bangsa yang dulu pernah membanggakan dan progresif ini.
Rakyat Indonesia hampir sepenuhnya percaya pada dongeng kaum fasis dan sayap kanan, dongeng yang dibuat oleh pihak Barat dan disebarluaskan melalui saluran media massa lokal yang dikendalikan oleh para “elit" yang sudah melacurkan diri mereka... Tidak mengherankan kalau selama 50 tahun mereka telah dikondisikan secara "intelektual" dan "budaya" oleh karya-karya Hollywood dengan kualitas terendah dan oleh musik pop Barat dan oleh Disney.
Mereka tidak tahu apapun tentang wilayah mereka sendiri.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kejahatan mereka sendiri. Mereka tidak sadar tentang genosida yang telah mereka lakukan. Lebih dari setengah politisi mereka sebenarnya adalah penjahat perang yang bertanggung jawab atas dibunuhnya lebih dari 30% pria, wanita dan anak-anak selama pendudukan Timor Timur (sekarang sebuah negara yang merdeka) yang didukung oleh AS/Inggris/Australia, juga bertanggungjawab untuk pertumpahan darah mengerikan yang terjadi di tahun 1965 dan untuk genosida yang masih berlangsung yang Indonesia lakukan di Papua.
Informasi tentang semua kejadian mengerikan ini sekarang sudah tersedia on line. Ada ribuan situs yang menyediakan bukti-bukti rinci dan memberatkan. Namun, dengan cara yang pengecut dan oportunis, penduduk Indonesia yang "berpendidikan" memilih untuk "tidak tahu".
Tentu saja, pihak Barat dan perusahaan-perusahaan mereka sangat diuntungkan dari penjarahan Papua.
Oleh karenanya, genosida sedang berlangsung, dan semua ditutupi dengan kerahasiaan.
Coba bertanya di Vietnam, di Burma, bahkan di Malaysia, apa yang mereka tahu tentang Timor Timur dan Papua? Jawabannya pasti tidak ada, atau hampir tidak ada.
Burma, Laos, Kamboja, Indonesia, dan Filipina - mereka bisa saja terletak di kawasan yang sama di dunia ini, tetapi boleh dibilang bahwa mereka berasal dari beberapa planet yang berbeda. Memang inilah rencana mereka: konsep kuno Inggris dalam divide-and-rule (pisahkan dan kendalikan).
Di Manila, ibukota Filipina, sebuah keluarga bersikeras mengatakan kepada saya bahwa Indonesia terletak di Eropa. Keluarga tersebut juga tidak tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh rezim Marcos yang pro-Barat.
*
Media Barat mempromosikan Thailand sebagai "negara yang penuh senyum", padahal negeri tersebut merupakan tempat yang brutal dan rakyatnya banyak yang frustasi dengan tingkat pembunuhan (secara per kapita) yang lebih tinggi daripada di Amerika Serikat.
Thailand telah sepenuhnya dikendalikan oleh Barat sejak akhir Perang Dunia II. Akibatnya, kepemimpinan di sana (kerajaan, para elit dan militer) telah memperbolehkan beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling mengerikan dilakukan di wilayahnya. Di sini saya akan sebutkan beberapa di antaranya: pembunuhan massal terhadap para pemberontak sayap kiri Thailand dan simpatisannya (beberapa bahkan dibakar hidup-hidup), pembunuhan ribuan pengungsi Kamboja, pembunuhan dan pemerkosaan para mahasiswa demonstran di Bangkok dan di beberapa tempat lain... Dan yang paling mengerikan: partisipasi Thailand yang tidak banyak diketahui massa dalam invasi ke Vietnam selama "Perang Amerika"... penggunaan para pilot Thailand secara intensif selama pemboman melawan Laos, Vietnam dan Kamboja, serta menyerahkan beberapa bandara militer (termasuk Pattaya) untuk digunakan oleh angkatan udara Barat. Belum lagi dengan menawarkan pemudi dan pemuda Thailand (banyak yang masih di bawah umur) kepada anggota militer Barat.
*
Teror yang telah disebarkan Barat di seluruh kawasan Asia Tenggara tampaknya telah dilupakan, atau setidaknya untuk saat ini.
"Mari kita lupakan dan melangkah ke depan!” demikian yang saya dengar di Hanoi dan di Luang Prabang.
Tetapi sementara rakyat Vietnam, Laos dan Kamboja sibuk "memaafkan" para penyiksa mereka, Empire/Kekaisaran melakukan pembunuhan rakyat Irak, Suriah, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, Ukraina, dan seluruh pelosok Afrika.
Sudah dinyatakan oleh banyak orang, beberapa sudah terbukti, terutama di Amerika Selatan yang sudah hampir berhasil membinasakan elemen-elemen yang jahat, bahwa tidak akan ada masa depan yang layak untuk Planet ini tanpa mengakui dan memahami masa lalu.
Setelah “mengampuni Barat”, beberapa negara di Asia Tenggara segera dipaksa masuk ke dalam konfrontasi dengan China dan Rusia.
Ketika "diampuni", pihak Barat tidak dengan rendah hati menerima kebaikan para korbannya. Perilaku seperti itu bukanlah bagian dari budayanya. Sebaliknya, mereka melihat kebaikan sebagai suatu kelemahan, dan kemudian dengan segera mengambil keuntungan dari hal tersebut.
Dengan mengampuni Barat, dengan "melupakan" kejahatan-kejahatannya, Asia Tenggara tidak melakukan hal yang positif. Mereka hanya mengkhianati sesama korbannya, di seluruh dunia.
Mereka juga, secara pragmatis dan egois, mengharapkan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi keuntungan tidak pernah datang! Sejarah telah membuktikannya dalam banyak kesempatan. Pihak Barat menginginkan segalanya. Dan mereka percaya bahwa mereka layak mendapatkan semuanya. Jika tidak ada perlawanan, maka mereka akan menjarah sampai akhir, sampai tidak ada yang tersisa - seperti yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, di Irak atau di Indonesia.
*
Geoffrey Gunn, seorang sejarawan Australia terkenal dan Profesor Emeritus di Universitas Nagasaki di Jepang, menulis untuk esai ini:
"Amerika Serikat menggunakan hard power(kekuatan bersenjata) dan soft power (kekuatan berdiplomasi) dalam porsi yang sama, atau begitulah yang terlihat. Selama empat dekade terakhir, saya keluar masuk Asia Timur, dan terus terang saya heran dan bingung dengan kenangan yang selektif tentang apa yang telah dilakukan oleh Amerika. Ambil contoh Laos dan Kamboja pada tahun 1970-an, di masing-masing negara ini, AS telah menjatuhkan bom dengan tonase yang jauh lebih besar dari yang dijatuhkan di kota-kota di Jepang selama Perang Dunia II, dan di kedua negara ini masih banyak bom yang belum meledak dan yang masih memakan korban. Belum lama ini saya bertanya kepada seorang pejabat tinggi rezim di Phnom Penh, apakah pemerintahan Obama telah mengeluarkan permintaan maaf atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. "Tidak mungkin," katanya, tapi dia pun tidak terlihat marah, sama seperti rakyatnya yang tampak sudah mati rasa walau melihat fakta-fakta dari sejarah mereka sendiri di luar yang mereka tahu secara umum dari kengerian-kengerian di masa lalu. Saya kebetulan berada di Laos bulan Desember 1975, ketika dengan penuh kemarahan kepada AS, kaum revolusioner mengambil alih kekuasaan; penayangan kejahatan Amerika - dulu merupakan propaganda utama - telah dibuang ke sudut-sudut museum. Sama juga yang terjadi di Vietnam yang perlahan-lahan masuk ke dalam pelukan AS sebagai mitra strategis, tanpa menuntut penyesalan Amerika khusus untuk para korban pemboman, senjata kimia dan kejahatan lainnya. Di Timor Timur, kawasan yang dikorbankan oleh Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dari Amerika Serikat untuk para jenderal Indonesia dalam rangka kepentingan perlawanan strategis mereka, dengan korban tewas yang mencapai sekitar 30 persen dari populasi, Amerika telah diampuni atau, setidaknya, dihapuskan dari narasi resmi. Ketika Presiden China Xi Jinping mengunjungi AS pada kunjungan kenegaraan pertamanya, dia menggalang kerjasama bisnis yang besar dengan Amerika, sesuatu yang menjadi "biasa" di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan sekarang menjadi mitra AS dalam "perang melawan teror", seperti di Afghanistan. Karena saya baru saja pulang dari mengajar sejarah di sebuah universitas di China, saya bisa menambahkan bahwa sejarah masih dipedulikan di China tetapi jelas sekali bahwa hanya Jepang yang digunakan sebagai poin referensi.”
*
"Dulu China melihat perlawanan terhadap imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme Barat sebagai topik utama dalam kebijakan luar negerinya,” desah Geoff, ketika kami sedang menikmati pemandangan teluk di kota tempat tinggalnya - Nagasaki. "Sekarang hanya kejahatan-kejahatan Jepang saja yang diingat di Beijing."
Mari kita kembali ke Asia Tenggara...
Semua sudah dilupakan dan dimaafkan, dan alas an "mengapa"nya jelas dan sederhana. Kita dapat diuntungkan bila kita melupakan! "Pengampunan" mendatangkan dana bantuan; "beasiswa" juga akan banyak ditawarkan sebagai salah satu cara negara-negara Barat menyebarkan korupsi di negara-negara klien dan di negara-negara yang ingin mereka tarik ke orbit mereka.
Kaum elit dengan rumah-rumah mewahnya, perjalanan-perjalanan ke luar negeri, anak-anak yang bersekolah di sekolah asing, adalah kelompok yang sangat pemaaf!
Namun kalau Anda pergi ke pedesaan, tempat sebagian besar rakyat Asia Tenggara tinggal, maka kita akan mendapatkan cerita yang sangat berbeda. Cerita yang akan membuat Anda merinding.
Sebelum berangkat pulang dari Laos, saya duduk di sebuah meja bundar di pinggir jalan desa Nam Bak, sekitar 100 kilometer dari Luang Prabang. Ibu Nang Oen bercerita tentang serangan bom Amerika Serikat, dan Pak Un Kham menunjukkan bekas luka-lukanya kepada saya:
"Bahkan di sini, di Nam Bak, kami punya banyak lobang bekas pemboman, tetapi sekarang lobang-lobang itu sudah tertutup menjadi persawahan dan perumahan. Di tahun 1968, rumah orangtua saya dibom... Saya rasa mereka menjatuhkan 500-pound (sekitar 225kg) bom di sana. Hidup amat sulit selama perang. Kami harus tidur di ladang atau di gua-gua. Kami harus bergerak terus sepanjang hari. Banyak yang kelaparan, karena kami tidak bisa bertani.”
Saya bertanya tentang Amerika kepada Ibu Nang Oen. Apakah dia sudah melupakan memaafkan mereka?
"Bagaimana perasaan saya tentang mereka? Saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Setelah bertahun-tahun, saya masih tidak bisa mengatakan apapun. Mereka membunuh segalanya di sini, termasuk ayam. Saya tahu bahwa sekarang pun mereka masih melakukan hal yang sama, di seluruh dunia..."
Lalu dia berhenti berbicara dan menatap ke batas cakrawala.
"Kadang-kadang saya ingat apa yang sudah mereka lakukan kepada kami... Kadang-kadang saya lupa,” katanya sambil mengangkat bahu. "Tapi ketika saya lupa, itu hanyalah untuk sementara waktu. Kami tidak pernah menerima kompensasi apapun, bahkan tidak pernah ada permintaan maaf. Saya tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu. Kadang-kadang saya bangun di tengah malam dan menangis."
Saya mendengarkan dia berbicara dan saya tahu, bahwa setelah selama puluhan tahun meliput di berbagai belahan dunia: bagi masyarakat Laos, Vietnam, Kamboja, dan Timor Leste, tidak ada yang dilupakan dan tidak ada yang diampuni. Dan memang seharusnya begitu!
*
Sumber: Southeast Asia “Forgets” About Western Terror (CounterPunch)