INDONESIA:
|
PENDAHULUAN
UNTUK EDISI BAHASA INDONESIA
I
Dua tahun setelah buku ‘Indonesia – Archipelago of Fear’ (Indonesia - Untaian Ketakutan di Nusantara) saya kirimkan ke penerbit di Inggris – ‘Pluto’ - saya merasa perlu untuk memperbarui teks Pendahuluan dari buku tersebut dan sekali lagi melakukan perjalanan di sepanjang pulau Jawa, dari Barat ke Timur, seperti yang telah saya lakukan berkali-kali sebelumnya, untuk mencari tahu apakah ada perubahan positif yang bisa dideteksi dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini.
Perjalanan lewat darat ini telah kami rencanakan matang-matang, namun kemudian ternyata perlu kami revisi lagi dan lagi. Rencananya kami ingin melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, kemudian ke Purwokerto untuk mampir ke dataran tinggi Dieng sebelum pergi ke Yogyakarta dan Solo. Dari sana, rencananya kami ingin sekali lagi mengunjungi mausoleum diktator fasis Soeharto dan keluarganya. Lalu seharusnya kami pergi ke Surabaya, menginap tiga hari di sana untuk kembali mengunjungi pulau Madura dan ‘danau lumpur’ yang mengerikan (akibat adanya aktivitas penambangan oleh PT. Lapindo Brantas yang mengakibatkan adanya semburan lumpur yang kemudian menggenangi beberapa desa disana sejak beberapa tahun yang lalu) di dekat kota Porong, sebelum berangkat ke Banyuwangi. Selanjutnya kami ingin berkunjung ke kota Blitar, tempat Presiden Soekarno dilahirkan. Dari sana rencananya kami langsung kembali ke Jakarta yang dijuluki ‘the big smoke’ (kota dengan polusi yang amat tinggi).
Namun demikian, segera setelah memulai perja-lanan dari Jakarta, kami menyadari bahwa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada perubahan positif yang terjadi. Sementara beberapa tahun yang lalu infrastruktur Indonesia menjelang runtuh, sekarang sudah benar-benar hancur total!
Kami cukup sering melakukan perjalanan darat, bahkan hampir setiap tahun, dari Jakarta ke Bali, kadang-kadang bahkan lebih jauh sampai ke pulau Sumbawa. Lalu lintas memang selalu menjengkelkan, namun dulu paling tidak kecepatan rata-rata mobil kami masih bisa mencapai sekitar 50 - 60km per jam. Sekarang ini hampir tidak mungkin untuk mendapatkan kecepatan rata-rata lebih dari 20 - 25km per jam. Jalan utama yang di Indonesia masuk kualifikasi sebagai jalan raya trans-nasional, tidak pantas untuk menghubungkan bahkan dua desa terpencil di China atau di Vietnam.
Kemacetan lalu lintas sekarang ini bahkan terjadi juga di jalan-jalan yang kanan-kirinya persawahan, jauh dari kota besar. Tidak terhitung banyaknya lubang yang menghiasi hampir setiap jalan yang ada. Jalan-jalan itu dipenuhi dengan truk-truk yang buruk setelan mesinnya, juga mobil-mobil pribadi dan bus-bus yang semuanya mencemari udara di pedesaan. Alih-alih bekerja keras untuk memperbaiki jalan, banyak kuli yang malah mengemis minta uang.
Pemandangan yang terlihat ketika melakukan perjalanan hanyalah penderitaan, rumah-rumah pedesa-an yang hampir atau sudah runtuh, anak-anak berkeli-aran tanpa sepatu, dan di malam hari jalanan gelap total.
Dimana-mana terlihat sampah; tumpukan sampah yang menggunung ini bahkan tak terbayangkan ada di pedesaan di Bangladesh atau India.
Sungai-sungai yang kami lewati hampir semua tercemar dan tersumbat dengan sampah, dan kalau sungai tersebut melintas dekat pasar keadaannya amat berantakan, banyak tempat pembuangan sampah ilegal.
Sangat jarang kami bisa melihat keindahan alam. Di beberapa tempat memang terlihat sawah-sawah yang hijau royo-royo, atau puncak gunung yang masih tertutup oleh hutan tropis yang lebat. Namun pemandangan seperti itu amat jarang terlihat dan satu dengan lainnya berjarak sangat jauh.
Sepanjang jalan tampak banyak orang yang menganggur, tidak melakukan apa pun juga. Hal ini amat kontras bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Vietnam, China atau Thailand, yang mempunyai etos kerja yang tinggi.
Di pulau Jawa, geng anak-anak muda keluyuran di jalanan, atau duduk-duduk di beranda, kebanyakan dari mereka merokok dan memandang kosong ke kejauhan. Kami juga melihat anak-anak muda yang menghabiskan bahan bakar dengan mondar-mandir naik skuter yang berisik dan mengeluarkan asap hitam yang mereka sebut 'sepeda motor'.
Di jalan menuju ke dataran tinggi Dieng, salah satu tempat yang paling menakjubkan di Asia Tenggara, ada jalan longsor sehingga kami tidak bisa bawa mobil ke daerah tempat candi-candi berada. Rupanya beberapa bulan sebelumnya, lebih dari separuh badan jalan longsor masuk jurang, memutuskan hubungan beberapa desa di daerah itu ke kota-kota di seluruh dunia. Terlihat keadaan disana kacau balau dan tidak ada seorang pun yang menyatakan bertanggung jawab atas bantuan atau perbaikannya.
Karena tidak bisa melanjutkan perjalanan keatas, akhirnya kami berhenti di salah satu desa disana. Kami ngobrol dengan penduduk disana, antara lain dengan Mang Undang yang berasal dari Pangalengan tapi sudah tinggal di Dieng selama 30 tahun:
“Saya sudah jadi petani selama 30 tahun dan saya tidak pernah terima bantuan apapun dari pemerintah. Segala sesuatunya harus kita lakukan sendiri, mulai dari menanam sampai menjualnya di pasar. Kalau petani seperti saya membutuhkan pinjaman untuk modal bertani... jumlahnya kadang-kadang hanya 10-20 juta rupiah... tapi bank bilang kami harus punya jaminan… jaminan? jaminan apa sih yang kami punya? Kami ini semua miskin.”
“Saya tidak akan pernah memilih SBY lagi. Benar-benar waktu 10 tahun yang terbuang sia-sia. Dia tidak pernah melakukan apapun bagi kami disini. Mungkin saja dia sudah melakukan sesuatu untuk kelas menengah dan kelas atas tapi tidak ada apapun bagi kami yang miskin.”
Ibu Hamidah menegaskan apa yang dikatakan mang Undang: “Mereka bilang sih Indonesia adalah negara demokrasi, tapi kenyataannya kami-kami ini cuma dipakai saja... kami ini orang-orang miskin... kami dipakai untuk keperluan orang kaya dan para penguasa... Misalnya mereka ngumpulin kita-kita untuk memprotes sesuatu atau untuk demo, tapi setelah itu kita akan dibuang dan dilupakan. Mereka hanya menggunakan kami. Habis manis sepah dibuang.”
II
Di Yogyakarta, Djokopekik – bisa dibilang salah satu pelukis Indonesia terbesar yang masih hidup - berpendapat bahwa tidak ada yang berubah menjadi lebih baik di negara ini.
Ia merasa sangat sedih dan tertekan dengan adanya kemungkinan bahwa bangsa Indonesia berkesempatan memilih, dan bahkan mungkin benar-benar memilih, Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, dalam pemilihan Presiden di tahun 2014. Jendral Prabowo, seorang pengusaha, politisi dan mantan komandan Pasukan Khusus Indonesia, dituduh banyak melakukan pelanggaran HAM berat, kejahatan terhadap kemanusiaan, di tahun 1998.
Ketika kami melaju lebih jauh, sekitar seratus kilometer ke arah timur, di sebuah pegunungan yang indah, para pengikut Soeharto berdoa untuk pemimpin yang mereka anggap sebagai setengah dewa. Mereka memasuki ruangan makam mewah itu dengan berjalan dengan lutut terlipat, dan menggumamkan doa-doa secara agama Islam. Mereka datang dari seluruh pelosok nusantara yang luas, melakukan ‘tugas’ untuk ziarah ke Pak Harto, seorang pria yang menjual negaranya untuk kepentingan asing dan menghancurkan segala sesuatu yang layak dikagumi di kepulauan tersebut.
III
Seperti halnya dua tahun yang lalu, Indonesia sudah habis dijarah, hutannya dibalak dan sumberdaya alamnya habis ditambang terutama oleh perusahaan asing. Hanya saja sekarang kondisinya semakin buruk dan tidak ada hukum atau kekuatan lain yang dapat menghentikan proses yang mengerikan ini.
Pendidikan di negara ini begitu buruk, terbukti walau berpenduduk sekitar 300 juta jiwa, bangsa ini belum dapat melahirkan satu pun ilmuwan atau seniman kelas dunia.
“Saya pikir sistem pendidikan di Indonesia memang dirancang untuk mencegah siswa untuk berpikir kritis,” kata Wahyu Krisnanto, dosen Fakultas Hukum di sebuah universitas di Surabaya. “Sejak tahap awal pendi-dikan, siswa tidak pernah diajarkan untuk memahami siapa mereka dan apa posisi mereka di masyarakat.”
Tidak jauh dari sana, pak Kusumawijaya, juga seorang dosen menegaskan: “Kondisi pendidikan, budaya dan struktur sosial di sini memang sudah mendekati kehancuran total.”
Namun demikian, tetap tidak ada aturan hukum. Korupsi menyebar di mana-mana, begitu pula impunitas untuk orang kaya dan militer. Semua biasa... Tidak ada yang berubah.
Komunisme masih dilarang, begitu pula ateisme.
Sekarang ini jika norma-norma internasional secara jujur diterapkan, maka sekitar 80% atau lebih penduduk Indonesia memenuhi syarat sebagai orang miskin, tetapi kesadaran seperti itu tidak ada di sini, dan tidak ada kaum oposisi yang benar-benar berjuang untuk membuka kebohongan-kebohongan yang telah disebar-kan oleh rezim.
“Miskin? Kami bukan orang miskin kok!” seru ibu Julaeka di Pacar Keling, salah satu perkampungan kumuh di Surabaya. Dia dan anak perempuannya tidur di sebuah gubuk yang terbuat dari seng; mereka berdua buang air kecil dan besar ke kanal yang tercemar, kanal tempat mereka juga mengambil air untuk mencuci piring. Tapi dia tidak menganggap dirinya miskin.
IV
Dunia masih sepenuhnya berharap pada orang asing untuk mendokumentasikan keruntuhan bangsa Indonesia.
Banyak intelektual dan akademisi lokal yang menunjukkan kebanggaan mereka pada negara dan bangsa Indonesia, tetapi kebanyakan dari mereka akan memilih tinggal di luar negeri kalau mereka mampu, atau jika ada orang atau organisasi atau pemerintah yang membayari. Pada umumnya mereka mendapatkan dana untuk mengatakan apapun, atau sedikit saja berkata, sesuai dengan keinginan pemberi dana, yang umumnya berasal dari bekas penguasa kolonial atau neo - kolonial.
Banyak beasiswa yang ditawarkan sehingga para mahasiswa itu terus menjalani terapi lobotomi yang sudah dimulai beberapa waktu sebelumnya di tanah air, tapi kemudian lebih disempurnakan, lebih membahaya-kan, tetapi juga jauh lebih ‘halus’. Hal tersebut antara lain dilakukan di beberapa universitas di Jepang, dimana kolaborator muda bersedia belajar tentang ‘media dan komunikasi’, atau lebih tepatnya bagaimana berkata dan mendapat bayaran untuk itu.
Sudah jelas mengapa hal ini terjadi: pihak Barat membutuhkan Indonesia agar dilihat sebagai ‘negara normal’ sehingga penjarahan sumber daya alam dapat terus dilakukan tanpa perlawanan.
V
‘The Act of Killing’ (‘Jagal’) adalah film dokumen-ter produksi gabungan Denmark - Inggris yang dibuat oleh sutradara Inggris Joshua Oppenheimer, yang sudah memenangkan beberapa penghargaan dan sekarang ini menggemparkan masyarakat di seluruh dunia dan membuat mereka ketakutan.
Dalam film ini, Indonesia dibuka habis-habisan, tanpa ampun.
Alur ceritanya sederhana: beberapa pembunuh massal brutal di Indonesia dengan bangganya membuat film tentang masa lalu pribadi mereka, dan tentang masa sekitar tahun 1965-1966. Joshua Oppenheimer dan krunya mengikuti mereka, hidup bersama mereka, mengumpulkan kesaksian mereka, dan mem-film-kan bagaimana mereka membuat film itu.
Salah satu karakter utamanya dipanggil dengan sebutan Anwar Kongo. Konon dia membunuh lebih dari 1.000 orang, sebagian besar dengan dicekik, baik dengan tangan kosong maupun dengan kawat besi. Dia menyiksa, memeras, dan memperkosa. Sekarang ia menjadi orang yang dikagumi di Indonesia; ceritanya dihormati dan dimuliakan.
“Ketika kami bertemu dengan para pembunuh itu, mereka dengan bangga menceritakan apa yang telah mereka lakukan,” jelas narator film ‘The Act of Killing’ (‘Jagal’).
Di dalam film dokumenter ini, seorang pembunuh memaparkan dengan gaya acuh tak acuh: “Kami membunuh mereka di sini... begitu banyak darah... baunya benar-benar gak enak...”
Untuk orang luar yang belum terbiasa dengan kenyataan di Indonesia, semua hal di atas terasa aneh dan tidak masuk akal. Para pembunuh berusaha menghidupkan kembali kejahatan yang telah mereka lakukan. Orang-orang pemerintahan bangga mengasosiasikan diri mereka dengan para pembunuh tersebut, dan pada saat yang bersamaan, secara terbuka melecehkan perempuan muda yang hadir di dalam ruangan itu.
Kebrutalan, kebatilan, dan sinisme ada di mana-mana.
“(Ajaran) Komunis tidak akan pernah diterima di sini, karena kami punya banyak preman, dan mereka dibutuhkan disini,” jelas Gubernur Sumatera Utara, on the record.
Para pembunuh terus bernostalgia: “Kami merasa seperti ketika kami membunuh... ada perasaan bahagia... seperti setelah menonton film Elvis dan film Hollywood lainnya...”
Sebelum kudeta di tahun 1965, para preman itu sebenarnya hanyalah calo-calo tiket di bioskop setempat. Mereka belajar cara membunuh dari berbagai film koboi dan gangster Hollywood. Kemudian mereka dipekerjakan oleh junta militer untuk membunuh kaum kiri dan untuk menakut-nakuti dan memeras kaum minoritas Tionghoa. Adegan-adegan mengerikan dari film impor itu ternyata sangat berguna.
Kemudian, pemilik harian Medan Pos, Ibrahim Sinik mengatakan, on the record, bagaimana kantornya digunakan untuk menginterogasi kaum komunis. Dan bagaimana korannya mengubah jawaban dari para korban agar mereka terlihat buruk: “Sebagai orang media, tugas saya waktu itu adalah membuat masyarakat membenci mereka.” Pak Sinik, yang sekarang merupakan warga Indonesia yang terhormat, kemudian berbicara tentang bagaimana ia dan stafnya membuang mayat orang-orang yang dibunuh ke sungai terdekat.
Film ini juga menunjukkan kaum ‘elit’ yang sekarang menjadi bagian dari gerakan Neo- Fasis. Mereka bermain golf, berbicara tentang bagaimana mereka ‘membunuh semua orang itu’. Juga tentang motto mereka: “Relax dan Rolex”. Mereka juga membahas caddy yang berdiri dekat mereka, seorang gadis muda, sadar bahwa apa yang mereka bicarakan sedang difilmkan, mengatakan: “Dia punya tahi lalat di vaginanya...”
Ketika saya menonton film dokumenter ini, saya mencatat beberapa hal penting dan menyiapkan diri untuk membuat review tentang film ini. Saya ingat beberapa pertemuan saya dengan orang-orang rendahan/bajingan yang dianggap ‘elit’ di Indonesia, yang benar-benar bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Jawa, Sumatera, dan hampir semua pulau-pulau Indonesia lainnya. Orang-orang itu benar-benar dimuliakan di sini. Salah satu mengaku tentang kecintaannya pada Adolf Hitler dan ‘solusi akhir’nya: “Kita perlu seorang Hitler di Indonesia, dan kita butuh dia segera agar dia bisa mengembalikan aturan-aturan disini!” Orang ini punya beberapa hotel di Indonesia, termasuk hotel dengan waralaba dari negara yang menderita karena ‘solusi akhir’, yaitu Perancis.
Tapi mari kita kembali ke film ‘The Act of Killing’ (‘Jagal’).
Pada satu adegan, mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, muncul di layar. Dia berbicara tentang perlunya preman: “...kadang-kadang kita perlu juga mukulin orang.”
Selagi film tentang para pembunuh ini dibuat dan mendapatkan momentum, Joshua Oppenheimer mengikuti, mendokumentasikan, dan mengatur kecepatan pembuatannya.
Salah satu pembunuh tersebut sekarang sedang mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Secara terbuka mereka mendiskusikan bagaimana membeli suara dan memanipulasi pemilu. “Preman menciptakan keamanan sekaligus kerusuhan...”
Di Indonesia, semua ini bukan rahasia lagi, dan dibutuhkan disiplin yang tinggi atau benar-benar bodoh untuk tidak melihat apa yang disebut sebagai ‘demokrasi’ disini.
“Film ini akan menjadi film keluarga yang terkenal,” kata salah satu protagonis sambil tertawa ketika melihat rekaman yang menunjukkan bagaimana seorang pria dibunuh di hutan. “Secara spontan saya menghampirinya dan memenggal kepalanya.” Dia pakai parang.
Kemudian diikuti dengan peragaan grafis dari peristiwa di masa lalu: memotong leher, memenggal kepala.
Setelah itu, film ini pindah ke studio TV. Terlihat masyarakat, warga Indonesia kebanyakan, berteriak: “Potong lehernya!” Saat itu film mempertunjukkan lelaki-lelaki yang minum darah dari kepala-kepala yang sudah terpisah dari badannya. Semua orang tertawa saat mayat orang yang dibunuh itu ditampilkan.
Jelas sekali bahwa bangsa Indonesia kehilangan semua persepsi tentang moralitas, susila, rasa malu dan proporsi. Tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan salah... Pembunuhan identik dengan hiburan, perkosaan disamakan dengan sesuatu yang pop dan modern.
Pada suatu pertemuan nasional, seorang anggota militer berbicara keras tentang seorang gadis yang ‘diperkosa oleh 6 laki-laki dan tidak setetes darahpun menetes di lantai’. Kemudian mereka semua berdoa kepada Allah.
Salah satu pembunuh mengingatkan: “Jika ada perempuan cantik, aku akan perkosa... Terutama jika dia berusia 14 tahun, lezat!”
Seorang pengusaha yang terobsesi dengan benda-benda kristal dan mengoleksinya dari seluruh dunia menjelaskan: “Kami menentang protes politik! Kami tidak akan menerima mereka." Kristal-kristal yang dikoleksinya tampaknya dari kualitas artistik yang terendah, dan kitsch. Namun di sisi lain, penghancuran setiap oposisi yang berasal dari mayoritas rakyat amat nyata.
Kembali ke studio TVRI - salah satu saluran TV Indonesia terbesar. Pembawa acara yang sopan mewawancarai para pembunuh. Dia tertawa terus, menunjukkan secara terbuka bahwa dia berada di pihak mereka:
"Pak, apakah cara Anda membunuh itu terinspirasi dari film?"
Dengan rasa kagum dia mengingatkan bagaimana Pak Kongo dan kawan-kawannya membunuh kaum Komunis, seniman, guru, dan intelektual dengan metode berbeda. Para penonton sekali lagi bersorak dan bertepuk tangan.
Kemudian dalam film tersebut Wakil Menteri Urusan Pemuda dan Olahraga menyerukan: "Hancurkan Komunis... musnahkan mereka! Jangan biarkan satupun antek Komunis melarikan diri!"
Orang-orang di sekitarnya berteriak: "Masukkan ke penjara! Musnahkan mereka sampai ke akarnya! Bakar! Bunuh!"
Realitas dan fiksi jadi kabur. Syuting terus berlangsung, api membakar.
Sekali lagi ada peragaan membunuh dan memperkosa, tetapi sekarang kita mengerti bahwa para ‘pembuat film’ Indonesia itu tidak berusaha untuk membuat kita shock/terkejut, mereka berusaha untuk memberikan kesan mendalam, atau menghibur dan menyenangkan.
“Cut, cut, cut!”
Pohon-pohon palem terbakar, seorang wanita hamil pingsan waktu syuting, gadis-gadis menangis...
“Coba cerutu neo–kolonialis ini,” kata seorang algojo, sebelum menyundut korban dengan ujungnya.
Seorang yang sedang disiksa bernegosiasi dengan algojo, menawarkan anaknya untuk diperkosa agar dirinya tidak dibunuh. Laki-laki ‘Orde Baru’ itu juga bersikeras memperkosa istrinya. Boneka beruang melambangkan salah satu anak perempuan, ada di atas meja, matanya ditusuk, tangan dan kakinya dipotong.
Seorang penyiksa berteriak pada korban sebelum mencekiknya sampai mati: “Kalian mau mencoba untuk melarang film-film Amerika di Indonesia?”
Menjelang akhir, ada sebuah pertanyaan retorik: “Mengapa tidak ada keluarga korban yang mencari para pembunuh?” Jawabannya jelas: “Karena kita sudah bunuh mereka semua!”
‘Rekonsiliasi’ dan keadilan cara Indonesia: para korban kembali dari kehidupan lain dan berterima kasih pada para pembunuh: “Terima kasih karena sudah mengeksekusi saya dan mengirim saya ke surga...”
Di akhir film, Anwar Kongo ingat pada para korban, dan itu membuatnya sakit. Dia ingat berapa ribu orang yang sudah dibunuhnya, kemudian ia muntah, dan muntah ... Tapi tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya, hanya suara yang menakutkan.
Setiap manusia normal yang menonton film ini juga pasti mau muntah. Kemungkinan besar mereka ingin muntah karena melihat keadaan moral dan sosial masyarakat Indonesia saat ini.
VI
Di kampung Pacar Keling yang kumuh di Surabaya, Bu Arifah, seorang pemilik warung meratap:
“Semua orang di sini, di kampung kumuh ini, sudah mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai), tapi saya gak pernah dapat, gak tahu kenapa. Setiap hari saya jualan kue jajan pasar di pasar dekat sini, jadi penghasilan saya per hari tidak tetap. Tergantung berapa banyak kue yang bisa saya jual setiap hari. Kalau gak ada yang terjual, saya gak punya uang.”
Tidak ada kesadaran akan kelas di Indonesia, tidak ada pengertian bahwa “sistem ini benar-benar brutal dan salah”. Para korban selalu melihat diri mereka sebagai kasus yang khusus dan unik.
“Saya pikir sih gak ada perbedaan besar siapa yang akan jadi presiden berikutnya,” lanjut bu Arifah. “Mereka gak buat apa-apa di sini, gak ada usaha untuk membuat tempat ini lebih baik. Jadi kita hidup aja seolah-olah tidak ada pemerintah. Siapapun yang akan jadi penguasa berikutnya, tidak akan bawa perubahan berarti.”
Bu Warsini adalah seorang pengemis: “Saya ini seorang pengemis. Saya ngemis karena perlu ngasih makan anak-anak saya. Kemaren anak saya minta uang untuk jajan di sekolah, hanya Rp. 10.000 saja, tapi saya gak bisa kasih.”
Ke mana pun kita pergi di Indonesia, selalu ada teriakan kesengsaraan. Tapi seluruh bangsa berpura-pura bahwa negaranya maju, tumbuh dan berkembang.
Apa yang kami lihat di Porong masih sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika perusahaan milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat melakukan pengeboran dan menjadikan semburan lumpur yang kemudian menggenangi beberapa desa. Danau lumpur yang sangat luas ini sekarang menjadi daya tarik wisata yang mahal, tapi kami diberitahu bahwa banyak desa yang belum mendapatkan kompensasi, atau kalaupun ada masih dalam jumlah yang sangat kecil.
Sekarang ini orang menerima apa adanya. Tidak ada gunanya mengeluh, protes atau melawan. Indonesia sepenuhnya masih memakai sistem fasis, sistem feodal. Kalau kamu menuntut apa yang seharusnya menjadi milikmu, maka rumahmu, kalau punya, bisa dibakar, kakimu dipatahkan, atau istri dan putrimu diperkosa.
Kalau kamu melapor ke polisi, maka kamu bisa kehilangan lebih banyak.
Tidak ada lagi yang mencoba untuk memperjuangkan keadilan. Pemogokan hanya menuntut upah yang lebih tinggi, bukan tentang konsep atau ideologi.
Indonesia semakin menyerupai bangkai besar dan mengerikan, dijarah oleh burung nasar.
VII
Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terus membesar. Keadaan yang konyol seperti ini dapat dilihat di seluruh negeri: pusat perbelanjaan besar dan hotel bintang lima hidup berdampingan dengan selokan terbuka dan pengemis anak-anak, sebuah dunia dengan sebagian kecil masyarakat super kaya dan mayoritas dari mereka hidup dalam kesengsaraan yang tak terbayangkan, baik di pedesaan maupun di perkotaan yang tercemar dan padat yang dibangun tanpa perencanaan dan tidak mempedulikan keindahan.
Semua tanpa jiwa, kosong dan murahan, yang kemudian diproduksi massal di tempat lain.
Kondisi ini menjadi sebuah cetak biru, sebagai contoh, bahkan sebagai ‘inspirasi’ untuk puluhan negara klien Barat lainnya di seluruh dunia, sejak Chile pasca 1973 (“Awas kawan-kawan,” Presiden Chile Salvador Allende diberitahu, “Jakarta akan datang!”), sampai ke Rusia semasa Yeltsin, dan bahkan Rwanda pasca-1994. Di Mesir, beberapa anggota korps diplomatik memberitahu saya bahwa banyak kedutaan Barat dan LSM yang mensponsori seminar dan memaksakan ‘konsep Indonesia’ ini baik pada pemerintahan Presiden Morsi yang digulingkan,maupun pada junta militer sekarang.
Untuk pihak Barat, konsepnya sangat sederhana: untuk menyebarkan apa yang disebut oleh sutradara film Yunani Costa Gavras sebagai ‘kapitalisme turbo’ dan kronisme politik. Dalam konsep ini, kaum mayoritas yang tidak berpendidikan akan diam karena takut ditindas oleh kaum elit, agama, struktur keluarga dan militer, dan mereka dilucuti kemampuannya untuk berpikir dan menganalisis sehingga yang ditampilkan adalah ketaatan buta.
Indonesia telah menjadi ‘negara sempurna’ untuk dijarah habis-habisan oleh kepentingan asing, dan menjadi negara gagal jika definisi negara gagal adalah ‘negara yang tidak dapat menyediakan layanan dasar bagi penduduknya’.
Tetapi media Barat, politisi dan bahkan beberapa ulama terus menyangkal fakta yang jelas tidak terbantahkan ini. Beberapa bahkan terus menggambarkan Indonesia sebagai contoh bagi seluruh negara berkembang. Walaupun demikian, sekarang sudah ada beberapa publikasi besar di Barat yang memecah keheningan yang ada:
Pada bulan Mei 2012, New York Times menulis: “Hak-hak minoritas agama dan etnis secara rutin diinjak-injak. Walaupun Konstitusi Indonesia melindungi kebebasan beragama, namun peraturan terhadap penghujatan dan dakwah secara rutin digunakan untuk menuntut kaum ateis, Bahai, Kristen, Syiah, Sufi dan Ahmadiyah - sebuah sekte Muslim yang dinyatakan menyimpang di banyak negara Islam. Pada tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 150 peraturan bermotifkan agama yang membatasi hak-hak kaum minoritas.”
Indonesia tidak pernah serius menangani masa lalu. Diskusi terbuka tentang genosida di tahun 1965-66, atau di Timor Timur dan Papua, sangat tidak dianjurkan. Demikian pula diskusi tentang runtuhnya kondisi sosial saat ini dan struktur kanibalisme ekonomi Indonesia.
Kalau naik kendaraan di sepanjang pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia, orang dapat dengan mudah melihat kenyataan yang ada. Tapi itupun hanya bagi mereka yang terlatih untuk berpikir kritis dan mampu menganalisa.
“Orang kaya dan orang asing sekarang makan semua yang tersisa dari sumber daya alam kita,” kata seorang aktivis dari LSM lingkungan. “Jawa, di mana sebagian besar penduduk tinggal, tidak menghasilkan apa-apa. Jadi, ketika tidak ada lagi yang tersisa untuk dijarah, orang Indonesia akan kelaparan, atau mungkin mulai makan satu sama lain.”
Prediksi semacam ini mungkin terlalu radikal, tetapi dengan hampir tidak ada produksi dan dengan infrastruktur yang menyedihkan, tidak ada penelitian dan hampir tidak ada output intelektual, tampaknya Indonesia membutuhkan perbaikan total, alih-alih dipakai sebagai contoh untuk negara lain yang saat ini sedang tunduk pada keinginan Barat.
Model Indonesia memang harus dipelajari, tetapi sebagai peringatan mengerikan bagi dunia.
*****